Pemilu Serentak: Desain Baru dan Problematika

Semenjak didirikannya Mahkamah Konstitusi, sejumlah perkara dengan terbilang sangat banyak telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi. Dengan sejumlah kewenangan yang melekat, Mahkamah Konstitusi telah menjadi bagian dari pada perkembangan hukum yang ada di Indonesia. Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam hal pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 menjadi perkara yang paling banyak disidangkan oleh Mahkamah Konstitusi.

Beberapa waktu lalu dan jelas belum lama, Mahkamah Konstitusi kembali bersidang untuk perkara berkenaan dengan pelaksanaan Pemilu. Melalui pemohonnya, Yayasan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengajukan pengujian Pasal-Pasal yang termaktub dalam UU Pemilu. Dalam permohonannya, Perludem mengajukan Pasal Pasal 1 Angka 1, Pasal 167 ayat (3), Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu dan Pasal 3 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2015 untuk diputus konstitusionalitasnya oleh Mahkamah Konstitusi. Perludem sebagai pemohon mempersoalkan pelaksanaan Pemilu Serentak. Perludem ingin mendapatkan jawaban apakah pelaksanaan Pemilu Serentak yang saat ini diatur konstitusional.

Putusan 135/PUU-XXII/2024

Menyikapi permohonan Perludem, Mahkamah Konstitusi menyampaikan argumentasi hukum yang merupakan bagian dari pada pertimbangan hukum sebelum menjatuhkan amar putusan. Sejumlah argumentasi disitir guna menguatkan pondasi untuk menjatuhkan amar putusan. Mahkamah Konstitusi paling tidak mengawali argumentasi hukumnya dengan menyebutkan bahwa desain Pemilu saat ini (termasuk Pilkada), telah mengakibatkan pelaksanaan Pemilu dilaksanakan dalam kurun waktu yang berdekatan. Mahkamah Konstitusi beranggapan hal ini menjadikan kinerja-kinerja penyelenggara telah terkontaminasi satu sama lain yang berdampak pada kualitas Pemilu itu sendiri. Rentang waktu Pemilu dan Pilkada yang berdekatan juga bukanlah rentang waktu yang ideal. Kerja-kerja dikebut, tugas-tugas dikejar, dan sejumlah aktifitas harus dikerjakan dalam kurun waktu yang sangat singkat. Hal ini jelas berimplikasi pada kualitas Pemilu.

Selain dari pada itu, desain Pemilu saat ini tidak hanya mendapati idealita kerja penyelenggara yang sebentar. Dalam perhitungannya, Mahkamah Konstitusi menilai aktifitas kerja penyelenggara Pemilu hanya efektif di dua tahun saja. Hal ini tentunya bertolak belakang dengan harapan dari pasal 22E ayat (5) UUD 1945. Penyelenggara Pemilu idealnya bersifat nasional dan tetap mulai dari tingkat pusat sampai dengan tingkat daerah dengan masa jabatan selama 5 (lima) tahun. Kondisi ini dianggap oleh Mahkamah Konstitusi tidak baik untuk kinerja penyelenggara Pemilu.

Setelah mengarahkan argumentasinya kepada penyelenggara, Mahkamah Konstitusi menilai kualitas dari peserta Pemilu. Masih dari konsepsi pemikiran soal himpitan waktu dan desain jadwal Pemilu, Mahkamah Konstitusi menilai bahwa Partai Politik tidak mampu menyiapkan kader terbaiknya. Partai politik hanya memiliki waktu yang singkat dan semua energi terkonsentrasi dalam waktu yang sangat sebentar. Partai politik tidak menyadari bahwa dengan waktu yang begitu singkat tidak cukup untuk menyiapkan kader dalam kontestasi politik.

Mahkamah Konstitusi setelah memaparkan argumentasi hukumnya, jatuhlah putusannya. Mahkamah Konstitusi menilai bahwa konstitusionalitas Pemilu Serentak haruslah diubah. Desain saat ini nyatanya tidak menghadirkan Pemilu yang berkualitas. Dalam amar putusan, Mahkamah Konstitusi memberikan tafsir-tafsir baru terhadap Pasal 167, Pasal 347 UU Pemilu dan Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2015. Amar putusan Mahkamah Konstitusi 135/PUU-XXII/2024 telah memberikan desain baru dalam pelaksanaan Pemilu Serentak. Mahkamah Konstitusi memaknai Pemilu Serentak sebagai Pemilu yang pelaksanaanya dibagi Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal. Pemilu Nasional merujuk kepada pemilihan anggota DPR, DPD dan Presiden/Wakil Presiden. Pemilu Lokal merujuk kepada pelaksaanaan Pemilu untuk memilih anggota DPRD dan kepala daerah. Berkenaan dengan waktu, Pemilu Serentak didahului dengan Pemilu Nasional dan dilanjutkan paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan untuk pelaksanaan Pemilu Lokal.

Baca Juga  Fenomena #KaburAjaDulu: Dilema Antara Mencari Peluang dan Cinta Tanah Air

Problematika Pemilu Nasional dan Lokal

Pasca putusan 135/PUU-XXII/2024 sejatinya, Mahkamah Konstitusi menyisakan beberapa persoalan yang harus didiskusikan dengan serius. Diskusi tersebut paling tidak mengerucut pada 2 (dua) hal yang fundamental. Pertama, Mahkamah Konstitusi sudah terlalu jauh masuk pada ruang legislasi yang merupakan kewenangan DPR. Hal ini tercermin jelas dari argumentasi hukum yang disebutkannya. Awalnya Mahkamah Konstitusi hanya menjelaskan varian pelaksanaan Pemilu Serentak berdasarkan putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019. Mahkamah Konstitusi menilai, ranah Mahkamah Konstitusi hanya sebatas sebagai negative legislator, sehingga pilihan atas desain pelaksanaan Pemilu diserahkan kepada pembentuk undang-undang. Lebih jauh, pasal-pasal yang diujikan berkenaan dengan Pemilu Serentak nyata-nyata merupkan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) yang sudah diamini sendiri oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan 55/PUU-XVII/2019.

Sejatinya, keanehan terhadap desain Pemilu Serentak dari Putusan 135/PUU-XXII/2024 makin terlihat saat Mahkamah Konstitusi menilai implementasi norma, bukan konstitusionalitas norma. Apalagi, ketika dalam salah satu dalilnya, Mahkamah Konstitusi beranggapan bahwa atas dasar ketidak hendakkan pembentuk untuk merubah UU Pemilu dan UU Nomor 8/2015 menjadikannya berhak masuk ranah legislasi. Tentunya hal ini bertentangan dengan prinsip-prinsip pembagian kekuasaan.

Kedua, pembentuk undang-undang haruslah segera berfikir untuk pelaksanaan Pemilu Serentak 2029. Apalagi, ada jeda 2 (dua) tahun antara Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal yang mengakibatkannya kosongnya jabatan. Sejumlah pertanyaan muncul, bagaimana desain transisi Pemilu Serentak sebagaimana dilaksanakan pada tahun 2024 menuju Pemilu Serentak berdasarkan putusan 135/PUU-XXII/2024.

Syaifullahil Maslul merupakan akademisi yang aktif di lingkungan pendidikan tinggi dengan fokus kajian pada bidang Hukum Tata Negara dan isu-isu kenegaraan. Ia memiliki pengalaman luas dalam bidang legislative drafting, baik sebagai peserta dalam berbagai pelatihan bersertifikat maupun sebagai narasumber dalam kegiatan pelatihan penyusunan peraturan perundang-undangan. Komitmennya terhadap pengembangan ilmu dan praktik legislasi menjadikannya kontributor penting dalam upaya penguatan kapasitas hukum serta tata kelola kelembagaan. (Ed: Olan)

Penulis