Opini Ekonomi Q1 2025: Menjawab Sinyal Perlambatan dengan Langkah Taktis dan Terukur

Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal pertama 2025 tercatat sebesar 4,87% (year-on-year). Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan 5,11% pada kuartal sebelumnya maupun 5,04% pada periode yang sama tahun lalu. Meski masih mencerminkan pertumbuhan, tren ini menandakan adanya potensi pelemahan daya dorong ekonomi yang perlu ditanggapi secara serius.

Salah satu indikator yang menunjukkan kekuatan fiskal pemerintah adalah surplus anggaran sebesar Rp5 triliun pada April 2025, hasil dari pendapatan negara Rp811 triliun dan belanja Rp806 triliun. Namun, besarnya surplus bukanlah ukuran utama keberhasilan fiskal. Lebih penting adalah efektivitas belanja negara dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

Tanda-tanda pelemahan semakin nyata ketika melihat Indeks Manufaktur (PIMI) yang berada pada 46,7, berada di bawah ambang batas netral 50. Ini menunjukkan kontraksi sektor industri. Tanpa intervensi, hal ini bisa berdampak pada penurunan lapangan kerja, investasi, dan ekspor — tiga pilar utama penggerak ekonomi riil.

Sinyal lain datang dari inflasi pangan bergejolak (volatile food) yang melonjak pada awal tahun. Meskipun inflasi umum masih relatif rendah di 1,95% (yoy), ketidakstabilan harga bahan pangan mengindikasikan tekanan nyata terhadap daya beli masyarakat berpendapatan rendah. Ketergantungan pada distribusi pangan yang belum efisien memperburuk situasi, terutama saat terjadi lonjakan musiman seperti Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN).

Meski demikian, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) menunjukkan pemulihan dengan mencapai 121,7 pada April 2025. Ini mencerminkan optimisme masyarakat terhadap prospek ekonomi. Namun, data historis menunjukkan bahwa IKK bersifat fluktuatif, sehingga sentimen positif ini bisa dengan mudah tergerus oleh kejadian seperti lonjakan harga atau gelombang PHK. Maka, penguatan perlindungan sosial dan komunikasi kebijakan menjadi kunci menjaga kestabilan psikologis publik.

Dari sisi ketenagakerjaan, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) turun ke 4,76%, mencerminkan perbaikan kuantitatif. Namun, perbaikan ini harus dikaji lebih lanjut dari sisi kualitas pekerjaan. Proporsi pekerja informal dan paruh waktu yang tinggi masih menunjukkan adanya underemployment yang struktural. Tanpa reformasi pendidikan vokasi dan digitalisasi sektor informal, angka pengangguran tersembunyi (hidden unemployment) akan tetap tinggi.

Beberapa langkah taktis dan terukur perlu segera diambil oleh pemerintah:

  1. Diversifikasi Ekonomi Secara Aktif
Baca Juga  Affiliate Marketing: Peluang, Tantangan, dan Keberlanjutannya dalam Ekosistem Digital

Pemerintah perlu memperluas basis ekonomi, tidak hanya bergantung pada konsumsi rumah tangga dan manufaktur. Pengembangan sektor pertanian modern, industri hijau, dan digital sangat potensial, terutama di daerah yang belum tergarap maksimal.

  1. Reformasi Tata Kelola Pangan

Langkah konkret harus dimulai dari digitalisasi rantai pasok, pembentukan cadangan pangan strategis, hingga penyempurnaan sistem distribusi antarwilayah. Tujuannya jelas: menjamin ketersediaan dan keterjangkauan harga pangan, sekaligus menjaga stabilitas sosial.

  1. Efektivitas Belanja Negara

Alih-alih mempertahankan surplus sebagai prestasi utama, fokus perlu dialihkan ke efektivitas belanja. Setiap rupiah harus mampu menciptakan multiplier effect, terutama pada sektor padat karya dan berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Proyek infrastruktur pun harus inklusif, menyasar wilayah tertinggal, bukan hanya memperindah kota besar.

  1. Insentif untuk Sektor Manufaktur

Pemerintah dapat merancang insentif fiskal yang selektif dan berdampak cepat, seperti keringanan pajak, subsidi bunga kredit, serta kemitraan antara industri dan UMKM. Tujuannya adalah menghidupkan kembali iklim usaha yang tengah lesu.

  1. Belanja Agresif yang Terukur

Surplus anggaran tidak seharusnya menjadi dalih untuk menahan belanja pada sektor prioritas seperti pendidikan, kesehatan, dan ketahanan pangan. Justru dalam kondisi perlambatan, belanja pemerintah harus bersifat ekspansif, selama dilakukan dengan akuntabilitas dan sasaran yang tepat.

OPINI KUN Institute

Bertindak dengan Strategi, Bukan Sekadar Reaktif. Indikator ekonomi memang penting, namun narasi stabilitas makro saja tidak cukup. Pemerintah harus berani mengambil langkah korektif, berdasarkan analisis data yang terukur dan argumen kebijakan yang kuat. Tahun 2025 seharusnya dimanfaatkan sebagai periode konsolidasi ekonomi, bukan stagnasi menunggu siklus politik. Jika langkah-langkah struktural dilakukan secara tepat dan berani, ekonomi Indonesia tidak hanya akan tumbuh, tetapi juga menjadi lebih tangguh dan inklusif. (Ed:Olan)

Penulis