Ekonomi Indonesia, seperti banyak negara lainnya, sedang menghadapi tantangan berat akibat fenomena secular stagnation suatu kondisi di mana pertumbuhan ekonomi mengalami stagnasi yang berlangsung lama meskipun ada berbagai upaya untuk merangsang aktivitas ekonomi. Kondisi ini, yang pertama kali diperkenalkan oleh ekonom Lawrence Summers, semakin mendapat perhatian seiring dengan penurunan laju pertumbuhan ekonomi global dan domestik yang lebih rendah dari prediksi sebelumnya.
Ketika ekonomi global perlahan bangkit dari dampak pandemi dan volatilitas pasar internasional, Indonesia justru dihadapkan pada tantangan baru yang dapat menghambat laju pertumbuhan jangka panjangnya: fenomena secular stagnation. Istilah ini mengacu pada situasi ketika pertumbuhan ekonomi melemah atau berjalan lambat dalam kurun waktu yang panjang, bahkan ketika suku bunga rendah dan berbagai stimulus fiskal maupun moneter telah diberikan.
Tanda-tanda awal kondisi ini dapat terlihat dari melemahnya kinerja mayoritas sektor ekonomi domestik. Berdasarkan diskusi dan paparan para ekonom, saat ini 11 dari 17 sektor industri di Indonesia menunjukkan tren penurunan pertumbuhan. Sektor-sektor penting, seperti pengolahan dan pengilangan minyak-gas, tekstil, barang galian non-logam, produk kulit dan kertas, perdagangan kendaraan, semen, hingga informasi-komunikasi (infokom) mengalami perlambatan kinerja. Padahal, sektor-sektor ini sebelumnya merupakan pilar penting perekonomian nasional.
Hanya segelintir sektor yang memperlihatkan kinerja lebih baik, antara lain pertanian, logam dasar, perjalanan, dan elektronik. Meski demikian, sumbangan peningkatan dari sektor-sektor ini masih belum cukup kuat untuk mengimbangi kelemahan sektor lainnya, terutama jika dibandingkan dengan beratnya tantangan struktural yang tengah dihadapi.
Era kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) dan otomatisasi seharusnya menjadi peluang untuk meningkatkan nilai tambah produk dan layanan dalam negeri. Namun, realitasnya Indonesia belum mampu memanfaatkan teknologi ini secara optimal. Pekerjaan dengan nilai tambah rendah justru meningkat, sementara adaptasi teknologi canggih dan inovasi masih berjalan lambat. Kondisi ini menandakan bahwa pergeseran struktural ke sektor-sektor bernilai tambah tinggi belum terjadi secara signifikan.
Sebagai negara berkembang yang berharap pada modal asing untuk mendongkrak pertumbuhan, Indonesia masih kesulitan menarik arus investasi asing langsung (Foreign Direct Investment/FDI) yang kuat. Hambatan regulasi, ketidakpastian kebijakan, tumpang tindih tarif dan kuota, serta iklim bisnis yang belum cukup kompetitif menjadi tantangan nyata. Korupsi, birokrasi yang memakan waktu, serta infrastruktur yang belum memadai turut menurunkan minat investor internasional. Judi online dengan perputaran masif dan tidak tercatat, serta kurangnya penegakan hukum yang tegas terhadap berbagai praktik ilegal dan koruptif, menambah ketidakpastian bagi investor.
Akibatnya, FDI yang masuk ke Indonesia tertinggal dari negara-negara lain di kawasan. Padahal, investasi langsung yang kuat dapat mendorong transfer teknologi, peningkatan keahlian tenaga kerja, serta memperkuat struktur industri nasional.
Tantangan lain yang tidak dapat dipandang sebelah mata adalah kualitas sumber daya manusia. Data menunjukkan masih tingginya persentase tenaga kerja berpendidikan rendah, sekitar 40% hanya berpendidikan SD, yang berimplikasi langsung pada rendahnya produktivitas, inovasi, dan adopsi teknologi. Situasi ini diperburuk oleh kurangnya dukungan kebijakan yang terpadu untuk meningkatkan mutu pendidikan dan pelatihan, serta minimnya investasi dalam riset dan pengembangan (R&D).
Seperti yang pernah disampaikan oleh para pakar ekonomi terkemuka, termasuk Prof. Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, faktor nonekonomi seperti stabilitas politik, keamanan, penegakan hukum yang adil, serta kejelasan arah kebijakan pemerintah memainkan peran krusial dalam menentukan iklim investasi dan kepercayaan pasar. Tanpa fondasi institusional yang kokoh, berbagai stimulus ekonomi sulit memberikan dampak jangka panjang yang berarti.
Mencari Jalan Keluar dari Ancaman Stagnasi
Menghadapi ancaman secular stagnation memerlukan pendekatan yang menyeluruh dan terukur. Beberapa langkah strategis yang dapat dipertimbangkan antara lain:
- Reformasi Struktural:
Menyederhanakan regulasi, mengurangi hambatan tarif dan kuota, mempercepat proses perizinan, serta memberantas korupsi adalah syarat mutlak untuk meningkatkan daya tarik investasi dan daya saing internasional.
- Investasi pada SDM dan Teknologi:
Meningkatkan kualitas pendidikan dan pelatihan, memacu investasi dalam R&D, serta memberikan insentif bagi industri yang mengadopsi teknologi dan inovasi adalah langkah krusial untuk mendorong pertumbuhan bernilai tambah tinggi.
- Membenahi Ekosistem Bisnis dan Investasi:
Menghasilkan kebijakan industri yang fokus pada pengembangan sektor-sektor potensial seperti pertanian modern, logam dasar, elektronik, dan jasa kreatif akan membantu diversifikasi ekonomi. Selain itu, membangun infrastruktur fisik dan digital yang memadai dapat memperluas akses pasar dan meningkatkan efisiensi rantai pasok.
- Memperkuat Stabilitas dan Kepastian Hukum:
Mengupayakan stabilitas politik, keamanan, serta memperkuat lembaga penegak hukum dan pengawas untuk menumbuhkan kepercayaan investor dan masyarakat.
Menghindari Jebakan Pertumbuhan yang Minim
Jika langkah-langkah di atas tidak segera diambil, Indonesia berisiko terperangkap dalam secular stagnation: ekonomi tumbuh sangat lambat dalam jangka waktu panjang, daya saing melemah, tenaga kerja terjebak dalam sektor bernilai rendah, dan kualitas hidup masyarakat tidak banyak meningkat. Kondisi ini akan berdampak negatif pada generasi mendatang yang harus berjuang lebih keras untuk mengangkat kembali perekonomian nasional.
Dengan kesadaran akan tantangan ini dan komitmen untuk melakukan reformasi secara konsisten, Indonesia masih memiliki peluang untuk membalikkan keadaan. Waktu adalah faktor krusial. Keputusan dan tindakan yang diambil hari ini akan menentukan arah pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa depan—apakah akan berhasil keluar dari ancaman secular stagnation, atau justru terjebak dalam pertumbuhan yang stagnan dan sulit terkerek ke atas. (Ed: Olan)