Sejak manusia purba mengais makanan di gua-gua hingga kini kita memesan kopi melalui layar ponsel, satu pertanyaan mendasar tetap relevan: untuk apa sebenarnya ekonomi ada? Jawaban awalnya sederhana: mengatur pemenuhan kebutuhan dasar. Namun, sejarah membuktikan bahwa ekonomi telah menjelma menjadi mesin kompleks yang sering kali lupa pada tujuannya sendiri yaitu keadilan dan keberlanjutan. Kini, di tengah krisis iklim, ketimpangan global, dan polarisasi politik, kita perlu merefleksikan kembali esensi ekonomi sebagai alat pemersatu, bukan penghancur.
Dari Bertahan Hidup ke Pertaruhan Kekuasaan
Akar ekonomi manusia bermula dari naluri bertahan hidup seperti makan, minum, dan berlindung. Revolusi Pertanian sekitar 10.000 SM mengubah segalanya. Manusia tak lagi nomaden, mereka lebih menetap, menimbun surplus, dan mulai berdagang. Barter kemudian digantikan uang logam di era Mesopotamia, melahirkan pasar dan jaringan dagang seperti Jalur Sutra. Tapi di sini pula benih keserakahan mulai tumbuh. Ketika produksi melebihi kebutuhan, ambisi menguasai kekayaan dan perebutan kepemilikan menjadi awal dari ketimpangan.
Lompatan besar terjadi pada Revolusi Industri abad ke-18. Mesin uap dan pabrik mengubah ekonomi agraris menjadi mesin kapital. Adam Smith menulis The Wealth of Nations, memuja pasar bebas dan spesialisasi. Tapi di balik kemajuan itu, buruh anak-anak di Inggris bekerja 16 jam sehari, sementara pemilik pabrik menimbun emas. Karl Marx kemudian menggugat pada golongan ekonomi kapitalis, paham ini adalah alat eksploitasi. Pertarungan antara pertumbuhan dan keadilan pun dimulai.
Abad Kedua Puluh: Globalisasi dan Keterpisahan
Depresi Besar 1930-an memaksa dunia mengakui bahwa pasar tak selalu bisa mengatur diri sendiri. John Maynard Keynes mendorong intervensi pemerintah, membuka jalan bagi kesejahteraan sosial. Namun, pasca Perang Dunia II, ekonomi kembali terseret ke arus baru yaitu globalisasi. Pasar saham, derivatif keuangan, dan korporasi multinasional menciptakan kemakmuran, tapi juga mengikis kedaulatan negara. Uang mengalir bebas, tapi 1% populasi menguasai 38% kekayaan global (Oxfam, 2023). Sementara itu, Bumi menjerit korbannya emisi karbon meroket, hutan menyusut, dan laut dipenuhi plastik.
Pertanyaan Baru Muncul; Mengapa Kita Tersesat?
Kisah ekonomi adalah kisah ambisi yang lepas kendali. Kita mengganti prinsip “cukup” dengan “lebih”. Negara berlomba mengejar pertumbuhan GDP, meski harus menambang habis-habisan atau mempekerjakan buruh murah. Korporasi mengorbankan lingkungan untuk laba kuartalan. Dalam prosesnya, ekonomi kehilangan dimensi moralnya. Padahal, seperti diingatkan oleh ekonom E.F. Schumacher, “Ekonomi yang baik adalah ekonomi yang memperlakukan sumber daya seolah-olah kita berniat tinggal selamanya di Bumi ini.”
Krisis multidimensi hari ini seperti fenomena inflasi hingga banjir bandang adalah cermin dari sistem yang mengabaikan dua prinsip dasar: fairness dan sustainability. Ambisi individu dan negara telah mengubah ekonomi dari alat pemuas kebutuhan menjadi ajang perebutan sumber daya. Padahal, nenek moyang kita dulu bisa bertahan justru karena gotong royong, bukan saling sikut.
Jalan Pulang: Kembali kepada Keadilan dan Keberlanjutan Bumi
Sejarah ekonomi adalah sejarah evolusi, dan kini kita berada di titik kritis. Ilmu ini harus kembali ke filosofi awalnya: mengatur kebutuhan manusia tanpa merusak manusia lain atau alam. Jika nenek moyang kita dulu bisa menciptakan uang logam untuk mempermudah barter, kita sekarang harus bisa menciptakan sistem yang mempermudah keadilan. Sebab, seperti kata filosof Yunani kuno, “Masyarakat yang baik tidak lahir dari ambisi, tapi dari kesadaran bahwa kita semua terhubung.” Ekonomi, pada akhirnya, adalah soal merawat ikatan itu. (Ed: Olan)