Stabilitas yang Menipu
Perekonomian Indonesia memasuki tahun 2025 dengan catatan yang sekilas menggembirakan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) kuartal I 2025 mencapai 4,87 persen secara tahunan. Angka ini konsisten dengan tren pertumbuhan yang relatif stabil sejak 2024, didorong oleh konsumsi rumah tangga yang masih mendominasi lebih dari separuh komposisi PDB nasional. Momentum Ramadan dan Lebaran, ditambah berbagai program bantuan pemerintah, berhasil menjaga daya beli masyarakat tetap bergerak. Inflasi pun terkendali pada kisaran 2,8 hingga 3,2 persen, hasil dari kombinasi kebijakan moneter yang prudent dan intervensi fiskal yang terukur.
Resiliensi ekonomi nasional ini patut diapresiasi, terutama mengingat berbagai turbulensi global yang melanda: harga komoditas yang naik-turun bak roller coaster, perlambatan ekonomi Tiongkok yang mulai kehilangan momentum pertumbuhannya, hingga dampak perang dagang antara Amerika Serikat dan Eropa yang menciptakan ketidakpastian perdagangan global. Namun, di balik angka-angka makroekonomi yang tampak solid ini, tersimpan persoalan fundamental yang jauh lebih serius, yakni bagaimana implementasi kebijakan ekonomi kita yang sesungguhnya masih jauh dari ideal dan cenderung terjebak dalam pola pertumbuhan yang sama dari tahun ke tahun.
Dominasi APBN dalam Perekonomian
Karakteristik paling menonjol dari ekonomi Indonesia kontemporer adalah dominasi peran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai motor penggerak utama. Data tahun 2024 menunjukkan total pendapatan negara mencapai sekitar Rp2.600 triliun, dengan kontribusi pajak mencapai 85 persen dari total penerimaan. Di sisi lain, belanja negara menyentuh angka Rp3.100 triliun, menciptakan defisit anggaran sebesar 2,8 persen dari PDB masih dalam batas aman menurut undang-undang keuangan negara yang membatasi defisit maksimal 3 persen.
Belanja pemerintah memang terbukti efektif dalam jangka pendek. Alokasi untuk infrastruktur yang mencapai sekitar 20 persen dari total APBN berhasil menciptakan efek multiplier bagi sektor konstruksi dan industri pendukungnya. Sementara itu, belanja perlindungan sosial yang mengambil porsi sekitar 15 persen APBN menjadi bantalan sosial yang mencegah masyarakat miskin jatuh lebih dalam ke jurang kemiskinan. Dengan multiplier fiskal yang berkisar antara 1,2 hingga 1,5, setiap Rp100 triliun belanja pemerintah secara teoritis mampu mendorong pertumbuhan ekonomi sebesar Rp120 hingga Rp150 triliun.
Masalahnya, ketergantungan berlebihan pada stimulus fiskal justru menciptakan semacam “growth ceiling” atau plafon pertumbuhan yang sulit ditembus. Ekonomi Indonesia seolah terjebak dalam kisaran pertumbuhan 5 persen, tidak mampu melesat lebih tinggi karena kapasitas fiskal yang terbatas. Rasio pajak terhadap PDB Indonesia yang masih berkutat di angka 10 hingga 11 persen. Hal ini jauh di bawah rata-rata dunia yang mencapai 15 hingga 20 persen menjadi kendala struktural yang membatasi ruang manuver fiskal pemerintah.
Persoalan Implementasi di Lapangan
Realitas di lapangan menunjukkan bahwa implementasi kebijakan ekonomi masih diwarnai berbagai persoalan yang kompleks dan saling terkait. Penerimaan pajak yang konsisten meleset dari target menjadi masalah klasik yang terus berulang. Shortfall penerimaan ini kemudian ditutup dengan penerbitan utang baru atau pemanfaatan saldo anggaran lebih dari tahun-tahun sebelumnya. Bank Dunia bahkan memprediksi rasio utang pemerintah terhadap PDB akan menembus angka psikologis 40 persen pada tahun 2025, sebuah level yang mulai mengkhawatirkan mengingat beban pembayaran bunga yang terus membengkak.
Inefisiensi belanja menjadi persoalan lain yang tak kalah krusial. Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia yang masih bertengger di angka 6 menunjukkan betapa tidak efisiennya investasi yang dilakukan. Bayangkan, dibutuhkan Rp6 investasi hanya untuk menambah Rp1 output ekonomi. Angka ini jauh lebih buruk dibandingkan negara-negara Asia Tenggara lainnya seperti Vietnam atau Thailand yang ICOR-nya berkisar di angka 3 hingga 4. Ini mengindikasikan ada kebocoran, inefisiensi, atau salah alokasi dalam penggunaan sumber daya ekonomi nasional.
Distribusi pertumbuhan yang timpang menjadi persoalan struktural yang tak kunjung terselesaikan. Pulau Jawa masih menikmati porsi terbesar kue pertumbuhan ekonomi, sementara daerah-daerah di luar Jawa masih berkutat dengan keterbatasan infrastruktur dasar, problem logistik yang membuat ekonomi biaya tinggi, serta akses permodalan yang terbatas. Kesenjangan ini bukan hanya soal angka statistik, tetapi mencerminkan kegagalan dalam menciptakan pertumbuhan yang inklusif dan berkeadilan.
Inkonsistensi kebijakan menambah daftar panjang persoalan implementasi. Kebijakan pajak yang berubah-ubah, insentif investasi yang mengalami revisi berkali-kali, hingga regulasi yang tumpang tindih menciptakan ketidakpastian bagi dunia usaha. Investor, baik domestik maupun asing, menjadi ragu untuk melakukan komitmen jangka panjang karena tidak ada kepastian bahwa kebijakan hari ini masih akan berlaku esok hari.
Yang paling memprihatinkan adalah kerapuhan daya beli masyarakat. Meskipun inflasi inti relatif stabil, harga pangan yang bergejolak (volatile food) tetap menjadi momok bagi rumah tangga miskin dan rentan miskin yang mengalokasikan sebagian besar pendapatannya untuk kebutuhan pangan. Distribusi bahan pokok yang sering terhambat di daerah terpencil, ditambah dengan lemahnya sistem logistik nasional, membuat stabilitas harga pangan menjadi tantangan yang tak mudah diatasi.
Mencari Jalan Keluar dari Jebakan
Ketergantungan pada APBN sebagai motor pertumbuhan jelas bukan strategi yang berkelanjutan. Untuk bisa mendorong pertumbuhan ekonomi yang signifikan di atas 6 hingga 7 persen, Indonesia harus berani menggeser paradigma dan mencari sumber-sumber pertumbuhan baru yang lebih produktif dan berkelanjutan. Sektor UMKM, agraria, dan hilirisasi industri harus menjadi fokus utama transformasi ekonomi ke depan.
UMKM yang selama ini menyumbang 61 persen PDB dan menyerap 97 persen tenaga kerja nasional masih memiliki potensi besar yang belum tergali optimal. Kontribusi ekspor UMKM yang masih di bawah 15 persen menunjukkan ada ruang sangat besar untuk peningkatan. Digitalisasi UMKM bukan sekadar jargon, tetapi kebutuhan mendesak untuk meningkatkan produktivitas dan memperluas jangkauan pasar. Akses pembiayaan syariah yang lebih inklusif, integrasi ke rantai pasok global, serta peningkatan kualitas produk melalui standardisasi dan sertifikasi harus menjadi agenda prioritas.
Sektor agraria membutuhkan revolusi berbasis inovasi, bukan sekadar ekstensifikasi lahan. Produktivitas pertanian Indonesia yang masih rendah ini tercermin dari yield per hektar yang kalah dari negara tetangga. Hal ini disebabkan oleh kelemahan sistemik dalam penanganan pascapanen dan minimnya upaya hilirisasi. Investasi dalam teknologi cold chain untuk menjaga kualitas produk pertanian, pengembangan agro-processing untuk meningkatkan nilai tambah, diversifikasi pangan dengan mengoptimalkan potensi sagu, sorgum, dan singkong, hingga pengembangan bioindustri untuk bioenergi, kosmetik, dan farmasi harus menjadi prioritas nasional.
Transformasi struktural juga membutuhkan reorientasi investasi swasta dari sektor-sektor ekstraktif yang minim nilai tambah menuju sektor-sektor produktif yang menciptakan lapangan kerja berkualitas. Reformasi regulasi harus diarahkan untuk memudahkan investasi di sektor manufaktur berteknologi tinggi, energi terbarukan yang mendukung transisi energi, serta industri kreatif dan digital yang menjadi tulang punggung ekonomi masa depan. Insentif fiskal harus dirancang secara selektif untuk mendorong investasi yang benar-benar produktif, bukan sekadar mencari rente ekonomi.
Membangun Fondasi untuk Lompatan Besar
Ekonomi Indonesia pada periode 2024-2025 memang menunjukkan stabilitas, tetapi stabilitas yang semu karena masih bergantung pada stimulus fiskal yang tidak berkelanjutan. Pertumbuhan ekonomi tidak bisa terus-menerus dijaga hanya dengan mengandalkan defisit anggaran dan injeksi likuiditas dari APBN. Ada batasan fiskal yang tidak bisa dilanggar tanpa risiko krisis yang lebih besar di masa depan.
Jika Indonesia serius ingin keluar dari “jebakan pertumbuhan 5 persen” dan mewujudkan Visi Indonesia Emas 2045, maka diperlukan keberanian untuk melakukan transformasi struktural yang fundamental. Strategi besar harus difokuskan pada pembangunan sektor riil berbasis inovasi dan teknologi, penguatan UMKM sebagai tulang punggung ekonomi rakyat, transformasi sektor agraria dari orientasi produksi primer menjadi industri bernilai tambah tinggi, serta yang tak kalah penting: perbaikan mendasar dalam implementasi kebijakan di lapangan.
Implementasi kebijakan yang efektif membutuhkan koordinasi lintas kementerian yang lebih baik, sistem monitoring dan evaluasi yang ketat, serta penegakan aturan yang konsisten. Birokrasi harus direformasi untuk menjadi lebih responsif dan adaptif terhadap dinamika ekonomi yang berubah cepat. Kapasitas pemerintah daerah harus diperkuat agar mampu menjadi mitra efektif dalam implementasi kebijakan nasional.
Yang terpenting, pertumbuhan ekonomi harus ditransformasikan dari sekadar angka statistik menjadi perbaikan nyata dalam kesejahteraan rakyat. Pertumbuhan inklusif yang mengurangi kesenjangan, menciptakan lapangan kerja berkualitas, dan meningkatkan daya beli riil masyarakat harus menjadi ukuran keberhasilan pembangunan. Hanya dengan demikian, stabilitas ekonomi tidak lagi menjadi ilusi di atas kertas, tetapi realitas yang dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat dari Sabang sampai Merauke.
Indonesia berada di persimpangan jalan. Pilihan untuk tetap nyaman dengan pertumbuhan 5 persen yang APBN-driven atau berani melakukan lompatan transformatif akan menentukan nasib bangsa ini di masa depan. Waktu untuk memilih adalah sekarang, sebelum jendela kesempatan demografis tertutup dan Indonesia terjebak dalam middle-income trap yang sulit untuk keluar. Transformasi memang tidak mudah dan penuh risiko, tetapi tetap bertahan dengan status quo adalah risiko yang jauh lebih besar. (Ed: Olan)
