Tahun 2024 dicatat sebagai tahun terpanas sejak pencatatan modern dimulai. Badan Meteorologi Dunia (WMO) mengonfirmasi bahwa suhu rata-rata global sudah sekitar 1,55°C di atas era pra-industri. Kejadian ini melampaui ambang 1,5°C yang dulu hanya hidup di teks perjanjian Paris, kini menjelma angka nyata di termometer dan di laporan bencana.
Di tengah pemanasan global yang kian ekstrem itu, Indonesia berdiri dalam posisi yang serba unik! sekaligus negara yang rentan, dan salah satu penyumbang emisi terbesar. Emisi CO₂ fosil Indonesia pada 2022 mencapai sekitar 692 juta ton, naik lebih dari 13 persen dibanding tahun sebelumnya, dengan rata-rata 2,48ton CO₂ per orang. Jika dihitung seluruh gas rumah kaca (di luar perubahan penggunaan lahan dan kehutanan), total emisi Indonesia menembus sekitar 1.071 juta ton CO₂e pada 2023. Tidak heran jika Indonesia kini disebut sebagai salah satu “rising giants” dalam kelompok dua belas negara yang mendorong lonjakan emisi energi dunia.
Angka-angka ini bukan sekadar statistik. Di baliknya ada ancaman nyata terhadap ekonomi nasional. Beberapa kajian memperkirakan kerugian ekonomi akibat krisis iklim bisa mencapai rata-rata sekitar 2,87 persen PDB pada 2030 hanya dari kerusakan tanaman, banjir, longsor, dan penyakit. Efek sistemik akan muncul di berbagai sektor seperti perikanan terkena banjir, lahan pertanian panen tidak menentu, penyakit yang tidak kunjung sembuh karena lingkungan yang kurang sehat. Analisis lain memperingatkan bahwa tanpa aksi serius, secara perhitungan Indonesia berpotensi kehilangan 4,4 persen PDB pada 2050 dan hingga 13,27 persen pada 2100. Bahkan Bank Indonesia pernah mengingatkan skenario ekstrem, Kerugian bisa menembus 40 persen PDB pada 2050, jauh di atas rata-rata global, karena kerentanan geografis Indonesia sebagai negara kepulauan dengan jutaan penduduk di pesisir.
Di tengah gambaran yang suram inilah pajak karbon dan perdagangan emisi hadir bukan sebagai mantra ajaib, tetapi sebagai alat ekonomi yang mencoba memberi harga pada sesuatu yang selama ini dianggap gratis: polusi. Literatur ekonomi lingkungan menggarisbawahi logika sederhananya: selama karbon tidak punya harga, keputusan bisnis akan selalu mengabaikan biaya banjir, kekeringan, dan gagal panen yang muncul bertahun-tahun kemudian. Dengan memberi “harga” pada setiap ton CO₂, pajak karbon dan skema perdagangan emisi memaksa biaya tersebut masuk ke dalam perhitungan investasi hari ini.
Indonesia memilih jalan campuran. Di satu sisi, Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) 2021 menetapkan pajak karbon dengan tarif minimum Rp30 per kilogram CO₂e, atau sekitar Rp30.000 per ton. Tarif ini dirancang mengikuti, atau minimal menyamai, harga di pasar karbon domestik. Secara teori, desain ini memberikan kepastian harga bagi pelaku usaha mereka tahu berapa biaya tambahan untuk setiap ton emisi dan sekaligus membuka sumber penerimaan baru bagi negara yang bisa digunakan untuk pensiun dini PLTU, subsidi energi terbarukan, atau perlindungan rumah tangga miskin ketika tarif energi naik.
Namun, kenyataannya Indonesia baru berada pada “tarif perkenalan”. Dengan harga di kisaran puluhan ribu rupiah per ton, sinyal ekonomi untuk beralih dari batu bara ke energi bersih masih jauh lebih lemah dibanding di Eropa atau beberapa negara lain. Tantangan besar ke depan adalah menaikkan harga ini secara bertahap, sambil memastikan bahwa beban transisi tidak mendorong kelompok rentan jatuh miskin.
Di sisi lain, Indonesia juga meluncurkan sistem perdagangan emisi untuk sektor ketenagalistrikan. Sejak 2023, skema ini mencakup 99 PLTU batu bara besar yang menyumbang lebih dari 80 persen kapasitas pembangkit nasional. Pada 2024 cakupannya meluas menjadi 146 unit PLTU dengan kapasitas sekitar 38,3 GW, dan pada 2025 ditargetkan menjangkau hingga 309 PLTU serta pembangkit gas dengan kapasitas lebih dari 63 GW. Secara prinsip, pemerintah menetapkan “batas atas” emisi untuk kelompok pembangkit ini; porsi emisi itu kemudian diterjemahkan menjadi kuota yang dapat diperjualbelikan. Pembangkit yang mampu mengurangi emisi di bawah kuotanya dapat menjual kelebihannya; yang boros harus membeli izin tambahan.
Di atas kertas, kombinasi pajak karbon dan perdagangan emisi ini adalah fondasi sebuah ekonomi rendah karbon. Dalam praktik, perjalanan masih jauh dari mulus. Harga karbon di bursa Indonesia sempat turun sekitar 24 persen dari sekitar Rp77.000 menjadi Rp58.800 per ton pada 2024, mencerminkan lemahnya permintaan. Volume perdagangan juga masih relatif kecil; sejak diluncurkan 2023 hingga Agustus 2025, total transaksi di IDXCarbon baru sekitar 1,6 juta ton CO₂e dengan nilai sekitar Rp78 miliar angka yang masih mini jika dibandingkan skala emisi nasional. Berbagai kajian dan organisasi masyarakat sipil menilai harga ini terlalu rendah untuk benar-benar mendorong pensiun dini PLTU dan investasi besar di energi bersih.
Meski demikian, terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa upaya ini gagal. Justru di sinilah letak peluang strategis Indonesia. Dengan memperkuat desain pasar misalnya memperketat batas emisi secara bertahap, memperluas sektor yang tercakup, dan memastikan pengawasan yang transparan pasar karbon dapat berfungsi sebagai kompas investasi jangka panjang. Analisis risiko iklim global menunjukkan bahwa investasi lebih awal dalam ekonomi rendah karbon dapat menekan kontraksi PDB yang semula diproyeksikan di atas 4 persen pada 2050 menjadi sekitar 2 persen saja.
Di luar negeri, tekanan juga datang dari arah yang lebih senyap namun tak kalah kuat: kebijakan dagang hijau seperti Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) Uni Eropa, yang mengenakan tarif karbon pada impor semen, baja, aluminium, pupuk, listrik, hingga hidrogen dari negara yang standar iklimnya lebih lemah. Bagi Indonesia yang mengekspor produk-produk intensif karbon, ketiadaan harga karbon domestik yang kredibel justru bisa menjadi bumerang: biaya karbon dibayar di perbatasan negara lain, bukan dikumpulkan dan dimanfaatkan sendiri.
Gambarannya, dengan demikian, menjadi jauh lebih dramatis daripada sekadar “tambahan pajak” atau “mekanisme pasar baru”. Di satu sisi terbentang risiko kehilangan hingga puluhan persen PDB dan jutaan orang terdorong kembali ke jurang kemiskinan karena banjir, gagal panen, dan gelombang panas. Di sisi lain, ada kesempatan untuk mengarahkan ulang arus investasi, membangun energi terbarukan, memperkuat daya saing ekspor di era pajak karbon perbatasan, dan menjadikan hutan serta ekosistem sebagai aset ekonomi yang dihargai, bukan sekadar dikonversi.
Pajak karbon dan perdagangan emisi, jika dirancang dengan cermat dan dijalankan secara konsisten lintas rezim politik, bisa menjadi jembatan menuju skenario yang lebih ringan: ekonomi yang tumbuh, tapi jejak karbonnya menurun; penerimaan negara yang bertambah, tapi dimanfaatkan untuk melindungi kelompok rentan; dan posisi Indonesia yang tidak lagi hanya dicatat sebagai bagian dari “dirty dozen” emitor besar, tetapi juga sebagai contoh negara berkembang yang berani mengubah krisis iklim menjadi peluang pembangunan. (Ed; Olan)
